Nasibku Si Perawan Remaja


Namaku adalah Nurlela. Orang tuaku menamaiku begitu. Pasti mereka telah menyeleksi nama-nama yang indah dan cantik untuk memberikannya kepada anak wanita satu-satunya ini. Teman-temanku di sekolah rakyat di Klaten mempunyai nama-nama yang sejenis seperti aku.  Memang  namaku itu adalah nama yang buruk untuk seorang wanita muda seperti aku ini. Maklum, aku dilahirkan saat perang dunia II berlangsung. Namun, nama Nurlela itu telah tertutupi oleh paras cantik yang telah dianugerahkan Tuhan kepada hambanya ini. Tuhan telah membuat sebuah karya seni yang indah pada diriku ini.
Sekarang aku telah hidup sendiri, tanpa orang tua, saudara, apalagi teman-teman dekatku. Di sinilah tempat tinggalku sekarang. Di sini banyak orang-orang yang aku kenal, namun kita belum bertegur sapa sama sekali. Aku kira aku mengenal mereka, tapi apakah mereka mengenal aku?.
Di sini aku tinggal di sebuah rumah yang dipagari dengan melati putih yang harumnya dapat membuat orang seakan berada di surga. Tidak seperti rumahku dulu di Klaten. Aku tidak tahu mengapa aku sampai berada di tempat ini.
Dulu pada umurku empat belas tahun, saat aku akan lulus SMP sekitar tahun 1943, aku diberhentikan sekolah oleh ayahku, karena panen tak kunjung datang dan uang pun tak kunjung kami dapatkan juga. Akhirnya aku terpaksa menenun kain bersama ibuku tercinta di rumahku tercinta ini di Klaten.
Waktu itu penjajahan Jepang, sejak Jepang menginjakkan kakinya di pulau Jawa pada tahun 1942. Jepang awalnya sangatlah baik pada kami, warga Klaten ini. Mereka adalah satu-satunya harapan bagi kami, kaum muda yang belum tahu akan menjadi apa kelak. Mereka menjanjikan pendidikan gratis kepada kami untuk menimba ilmu di Tokyo. “Sangatlah baik orang Jepang itu, kawan!”, dalam hatiku. Aku pun sangatlah senang pada waktu tiga orang tentara Jepang datang ke rumahku pada saat aku sedang menenun kain yang hampir selesai. Mereka memberikan sepucuk surat kepada orang tuaku, bahwa aku adalah wanita yang terpilih untuk dikirim keTokyo. Hatiku sungguh berbunga-bunga saat mendengarnya.
Setelah pemberitahuan itu, aku lalu berkemas seadanya, karena perjalanan sangat jauh dan aku tak mau bermasalah dengan barang bawaanku nanti. Aku pun berpamitan dengan kedua orang tuaku yang telah merawat titipan Tuhan ini dengan sangat baik. Alangkah bahagianya hatiku jika membayangkan aku besar nanti yang telah berbekalkan pendidikan dari Tokyo. Namun sangatlah sedih hatiku harus meninggalkan orang tuaku di rumah yang sudah tua dan rapuh itu hanya berdua saja, tanpa anak satu-satunya ini yang ingin menggapai cita-cita setingi-tingginya. Orang tuaku pun memberikan sepucuk surat kepadaku yang hanya boleh dibuka pada saat nanti aku kembali ke Klaten ketika mereka sudah tiada. Tergenanglah mataku dengan air mata pada saat mereka mengucapkan kata-kata itu. Lalu kami pun berpelukan dan saling berpamitan.
Orang tuaku mengantarkanku ke depan rumah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak tercintanya ini. Aku pun segera naik ke sebuah truk milik Jepang yang berisikan beberapa wanita-wanita desa yang beberapa sudah kukenal, salah satunya adalah Tristuti, kakak kelasku dulu. Aku melihat orang tuaku menangis saat truk mulai berjalan, sambil merelakan anaknya pergi untuk waktu yang cukup lama.
Pada saat di perjalanan, aku kembali mengingat masa-masaku dulu pada saat aku masih dalam dekapan orang tuaku. Hatiku pun sesak karena peristiwa yang begitu indah itu telah terlewati begitu cepatnya. Wanita-wanita di sekitarku pun juga menangis, aku tidak tahu apakah mereka menangis karena bahagia atau sedih meninggalkan kampung halaman yang tercinta ini.
Sekitar dua jam, kami sampai di pelabuhan. Di sana banyak sekali tentara Jepang, lengkap dengan senjatanya. Mereka memandangi kami seakan kami adalah sekelompok wanitatang tertangkap karena telah mencuri uang milik komandannya. “Kami ini wanita terpuji, wahai orang Jepang!” amarahku dalam hati. Kami pun segera naik ke kapal yang penuh impian itu. Aku memilih satu kamar dengan Tristuti, karena dia yang satu-satunya yang lumayan dekat denganku. “Baik sekali orang-orang Jepang ini!” kataku kepada Tristuti. Namun dia hanya diam saja. Kulihat wajahnya murung sekali hari ini, bagaikan wajah seorang istri yang dikritik oleh suaminya karena makanannya tidak enak. “Ada apa, Tris?” tanyaku. Secepat kilat dia menjawab, “Aku lapar..” Lalu segera kukeluarkan dua buah lontong yang dibawakan ibuku sebelum aku pergi pagi tadi. Kami pun lansgung makan dengan lahapnya, karena suasana yang begitu hangat saat itu.
Satu hari telah aku lewati bersama selalu dengan Tristuti. Telah satu hari juga kami berada di tengah lautan yang luas ini. Tak ingin aku berpisah dengan Tristuti. Namun, harapanku memang tidak sejalan dengan keinginanku. Pada tengah malam, kami semua diturunkan secara paksa oleh tentara Jepang, di Jakarta. Aku tak menyangka, ternyata ada ratusan wanita yang berada satu kapal dengan kami. Aku pun terpisah dengan Tristuti, dia menghilang begitu saja di tengah keramaian pelabuhan. Semua orang terlihat panik. Pelabuhan yang sepi pun menjadi ramai oleh teriakan-teriakan wanita yang histeris. Ada yang menangis, bahkan ada yang pingsan. Aku berpikir, “Akankah perjalanan ke Tokyo akan terus berlanjut, atau perjalananku berakhir di Jakarta?” Kami pun dinaikan ke sebuah truk yang sudah tertata rapi di pintu gerbang pelabuhan. Tentara Jepang yang baik terhadap kami pun telah berubah menjadi pria yang kasar. Secara paksa kami dinaikan oleh mereka, secara kejam kami diseret oleh mereka agar mau naik ke truk tersebut. Aku tidak tahu apa maksud tentara Jepang berbuat seperti itu. Yang aku tahu yaitu perjalanan kita ke Tokyo sudah berakhir dan mimpi-mimpi yang indah itu telah usai terbangunkan oleh kekejaman tentara Jepang yang tak tahu etika sama sekali dalam memperlakukan perempuan Indonesia.
Kami belum tahu akan dibawa kemana oleh tentara Jepang terkutuk itu. Kami belum tahu akan dijadikan apa oleh mereka. Dalam perjalanan aku berdoa agar selamat dari kekejaman ini. Aku hanya bisa berharap dan berharap saja, meskipun semua harapanku telah sirna. Waktu itu malam sangat gelap, pohon-pohon bergoyang searah dengan tiupan angin yang menghembus ke arah kami, suasana sangat mencekam, semua terdiam. Tiba-tiba truk berhenti di sebuah rumah yang besar yang hampir habis termakan umurnya yang tua itu. Gerbang pintu rumah pun dibuka oleh tentara Jepang, seakan ini adalah penyambutan bagi kami. “Kami tak perlu penyambutan, kami hanya perlu kebebasan,” kataku dalam hati.
Truk pun diparkirkan di bawah pohon tua. Kami semua diturunkan, digiring secara paksa untuk masuk ke rumah tua nan besar itu. Jumlah kami kira-kira tiga puluh wanita yang menurutku masih perawan, termasuk aku si perawan remaja ini. Kami dibawa masuk melewati pintu depan. Aku tidak menyangka bahwa rumah tua itu yang kuanggap adalah gudang senjata, ternyata sangat terawat dalamnya. Rumah itu berlantai tiga. Banyak sekali kamar yang disertai lorong-lorong yang gelap. Mimpiku sudah sirna, kawan terbaikku dalam perjalanan sudah hilang dari hadapanku. “Mengapa ini harus terjadi padaku, Tuhan?” suara hatiku menangis. Lalu kami semua di bawa ke kamar masing-masing. Kamar itu cukup kecil, kira-kira empat kali empat meter panjangnya, di kamar sempit itu terdapat satu ranjang kapuk yang kotor dan lusuh. Aku tidak tahu ini kamar apa.
Saat ingin memejamkan mata, aku terbangun saat mendengar teriakan wanita yang diselangi oleh suara tembakan di kamar sebelahku. Akupun keluar hendak melihat apa yang terjadi. Aku mengintip dari sela-sela pintu itu. Terlihatlah seorang wanita setengah telanjang yang diikat tangan dan kakinya oleh tali di sebuah ranjang kapuk, matanya tertutup oleh kain, rambutnya terurai dengan liar, dan aku melihat darah yang mengalir dari kepalanya, dan itu adalah sebuah luka tembakan. Diludahinya mayat wanita malang itu oleh kedua orang tentara Jepang yang telah memperkosanya dan membunuhnya, seakan wanita itu sangat menajiskan bagi mereka. Rasanya pun aku ingin berteriak dan menangis, karena tidak tega melihat peristiwa naas tersebut yang menimpa kaumku ini. Aku segera masuk ke kamarku dengan perasaan haru. Setelah itu, aku mendengar suara tembakan sebanyak tiga kali di sebelah kamarku. Aku juga mendengar suara anjing kelaparan yang masuk ke dalam kamar itu. Aku tidak tahu apa nasib mayat wanita itu selanjutnya. Aku hanya ingin memejamkan mata saja dan membayangkan nasibku setelah kejadian ini. Mimpi sudah sirna, nyawa pun terancam, rasanya ingin mati secepatnya. Lalu aku pun tertidur.
Aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku, semakin lama semakin keras suaranya. Aku pun beranjak dari tidurku dan segera membukakan pintu. Pintu pun terbuka, dua orang tentara Jepang ada di depan kedua bola mataku. Diseretnyalah aku ke sebuah ruangan secara paksa. Ruangan itu lebih besar dari kamarku. Di sana terdapat banyak sekali pisau dan cambuk berduri tentara Jepang yang tergantung secara teratur. Dan sekarang aku sadar bahwa itu adalah ruang penyiksaan bagi para tawanan yang hendak dihukum mati. Aku hanya pasrah menatap penderitaan yang ada di depan mataku.
Aku pun diterlentangkan pada sebuah ranjang tua. Dipukulah pipiku yang lembut ini oleh tangan tentara Jepang yang kasar itu. Mataku berkunang-kunang seperti ingin pingsan. Lalu, aku melihat tangan dan kakiku diikat oleh mereka ke ranjang tersebut. Tanganku sungguh sakit, mereka mengikat tanganku sangat kencang. Dipukul lagi wajahku yang mungil ini oleh kedua tentara Jepang itu secara bergantian. Aku pun pingsan. Aku sempat melihat mereka menelanjangiku dan memperkosaku secara bergantian berkali-kali. Setelah mereka rasa terpuaskan, lalu mereka mengeluarkan senjata mereka dan memukulku berkali-kali, sehingga aku tak berdaya. Mereka mengarahkan pistolnya ke kepalaku sambil mengucapkan, “Sayonara!.”
Pandanganku pun gelap gulita, dunia terasa sangat dingin dan sunyi. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Semua ingatanku sudah hilang. Namun, aku melihat seseorang telah memanggilku dengan suara yang sangat lembut. “Nurlela, Nurlela, kemarilah, kau aman di sini,” begitulah kata-katanya. Akupun menghampiri dia, namun dia langsung menghilang saat aku mendekatinya. “Apakah dia adalah malaikat ?” hatiku bertanya-tanya. Lalu, dunia pun menjadi sangat terang, sehingga menyilaukan pandanganku. Sampailah aku di sini di dunia ketiga yang tidak kuketahui di mana letaknya dan dimana jalan keluarnya. Di sini adalah rumah baruku, dengan melati sebagai hiasannya. Saat ku kecil aku sangat suka dengan melati, sampai-sampai ibuku menjulukiku Si Putih Melati. Orang-orang banyak berkeliaran di sekitar rumahku. Pandangan mereka kosong, wajahnya seakan beku. Lalu aku menyadari bahwa aku telah melihat ibuku. Dia memakai kebaya putih dengan bawahan kain berwarana coklat yang hampir selesai. Aku ingin memanggilnya, namun aku tak bisa, seperti ada yang menahan kemauanku. Lalu aku sadar, aku telah ada di surga, kawan, karena jiwaku begitu damai. Meskipun aku sangat kesepian, namun aku sangat menikmatinya. Dengan sekejap aku terbang, dan dibawa ke dunia ketiga bersama gandengan seorang ibuku.
 bokep terbaru

 amoy bugil

 
boking online cewek smu 17 tahun